Aku siswa
Sekolah Menengah Atas ( SMA ) kelas X di Bandung.
Namaku Tia. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku. Pada saat
liburan sekolah datang, aku berkunjung ke rumah nenek yang berada di desa. Aku
sangat senang dapat bertemu dengan nenek dan kakekku. Aku sangat sayang dengan
nenekku, karena nenek memberikan kasih sayang kepadaku melebihi kedua orang
tuaku sendiri. Bahkan aku selalu minta dinyanyikan lagu pengantar tidur jika
bersamanya. Entah kenapa aku lebih sayang pada nenekku dari pada orang tuaku,
mungkin karena nenekku memilii hobi yang sama denganku yaitu mencari ulat-ulat.
Nenekku tinggal di gubuk yang begitu sempit. Dibelakang
rumah nenek terdapat hutan yang luas dan sering disebut dengan nama “ alas “.
“Tia, sini nak .” Nenek memanggilku.
“Iya
nek. Ada apa nek ? Kok nenek kelihatan semangat banget ?” sahutku.
“Nenek
mendapat kelinci yang sangat lucu;”
“Benarkah
nek ?” (sambil tersenyum lebar).
Nenek mengangguk sambil
tersenyum : )
“Aku
pengen liat nek : ).”
“Kelincinya
nenek taruh di kandang samping rumah, Tia.”
Aku langsung bergegas ke
samping rumah untuk melihat kelinci yang kata nenek sangatlah lucu.
“Wuuuaaa,
kelincinya lucu sekali nek. Aku mau memeliharanya nek. Ngomong-ngomong nenek
dapat kelincinya dari mana ?”
“Nenek
bertemu dengan Ibu Minah di warung sebelah. Dia menawari anak kelinci. Karena sangat lucu, nenek langsung berfikir
pasti kamu akan suka. Makanya nenek langsung terima kelinci itu.”
“Ow
begitu yah nek.” jawabku sambil menggaruk-garuk kepala.
Siangnya aku bermain kerumah tetangga. Ada seorang anak
yang umurnya sepantaran denganku. Namanya Santi. Dia bersekolah di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK). Orangnya sangat ramah dan mudah bergaul. Aku sangat
senang bisa berkenalan denganya. Setiap aku bermain dengan Santi pasti aku
selalu lupa waktu. Maklum anak muda, rasa berkumpul dengan teman sebaya sangat
besar.
“Santi,
hari nie kita mau maen apa ?”
“Terserah
kamu aja Tia, aku ngikut kamu aja deh .”
“Enaknya
maen apa yah ? Ehmm kalau kita cari ulat daun aja gimana ? Untuk makanan
burung.”
“Ok
deh, ide yang sangat cemerlang. Tapi nanti ulatnya mau kita apain?”
“Iya
ya ?? Ehmm gimana kalo kita kasihkan Pak Marno ? Kan lumayan di beri upah,
hehe.” (sambil terbahak-bahak).
“Okey deh.” sahut Santi dengan
hati riang.
“Ya
udah dari pada kita bicara terus nggak selesai-selesai, mending kita langsung
capcuss yuk.”
“Capcuss
? Apa itu ?” Kata Santi (sambil menggaruk-garuk kepala karena kebingungan).
“Aduh,
kamu nggak tau ya? Itu bahasa gaul San, artinya ayo langsung pergi.”
“Ow
begitu ya? Ya, ya, ya, maaf aku nggak tahu. Ya udah yuk berangkat.”
Aku dan Santi berjalan menuju “alas” yang sering
digunakan untuk mencari ulat. Aku memanjat pohon yang berada di kanan rumah
nenek dan Santi memanjat di sebelah kiri rumah. Rasa capek menyelimuti tubuh
kami berdua. Setelah dapat banyak, kami berdua turun. Kemudian nenek
menghampiti kami berdua yang sedang kipas-kipas menggunakan daun jati.
“Ini
nenek bawakan dua gelas es teh dan emping . Pasti kalian haus dan lapar kan.”
“Terima
kasih nenekku sayang.” kata Tia di selingi sahutan dari Santi “terima kasih
banyak nek.”
Setelah menghabiskan makanan
dan minuman yang di sediakan nenek, tanpa berfikir panjang kami langsung pergi
kerumah pak Marno. Kami diberi uang Rp 7.000,-. Lumayan untuk jajan berdua,
tapi aku dan Santi menginginkan agar uang itu di tabung. Aku berfikiran kalo
uangnya di bagi dua saja. Aku dapat Rp 3.500,- sedang Santi juga Rp 3.500,-.
Tak terasa sudah sore, aku bergegas pulang, begitu pula dengan Santi.
“Nek,
nenek. Aku punya sesuatu buat nenek.” teriakku.
“Aduh-aduh
Tia, ada apa ? Kok teriak-teriak.” jawab nenek.
“Ini
ada sedikit uang dari hasil nyari ulat tadi nek, ni buat nenek aja.” kataku
sambil menyerahkan uangnya.
“Tidak
usah nak, di tabung saja Tia.” (sambil mengembalikan uang ke Tia).
“Ya
udah nek kalo nenek ndak mau terima. Aku tabung aja deh.”
“Sudah
sore Tia, ayo mandi dulu sana.”
“Ow
iya badanku bau acem. Iya nenekku tersayang.” (sambil genit).
“Byur,
byur, byur.” Aku mandi di kamar mandi yang masih sanagt tradisional. Bak mandi
yang luas, pancuran air yang tradisional dan air yang langsung dari pegunungan.
Setelah selesai, ku tengok nenek sedang menyiapkan makan malam. Aku makan
sangat lahap karena masakan nenek yang sangat enak dan ada makanan kesukaanku
yaitu tempe penyet. Setelah selesai makan aku bergegas gosok gigi dan pergi
tidur.
“Nek,
aku tidur dulu ya.” kataku. Nenek mengangguk senang.
Aku tidur lelap, tetapi
tidurku terusik suara batuk dan ternyta itu suara batuk nenek.
“Nenek
kenapa ?” tanyaku cemas.
“Nenek
tidak apa-apa Tia. Nenek hanya batuk biasa. Ayo Tia, tidur lagi sana, besok
bangun pagi supaya bisa menemani nenek ke pasar.”
Aku pun kembali tidur dengan
perasaan cemas karena batuk nenek tidak berhenti-berhenti.
Keesokan harinya, aku menenmani nenek pergi ke pasar. Di
pasar nenek berjualan baju. Aku melihat nenek sedang batuk-batuk lagi.
“Nek,
akhir-akhir ini Tia lihat nenek sering sekali batuk. Nenek kenapa?”
“Nenek
tidak apa-apa Tia. Ini hanya batuk biasa.”
Aku merasa ada yang
disembunyikan nenek dariku, tetapi aku tidak mengetahuinya. Hari menjelang
siang, aku dan nenek bergegas pulang. Dalam perjalanan pualng, aku menatap
wajah nenek yang pucat dan tubuh yang semakin kurus. Aku semakin merasakan
kecemasan. Aku tidak inging sesuatu menimpa nenek. Dia sudah kuanggap sebagai “
MATAHARI HATIKU”. Aku sangat membutuhkannya disetiap langkahku. Dia sangat
berarti untukku.
Setelah sampai dirumah, aku segera merapikan semua
barang-barangku, karena besuk pagi kau harus kembali ke Bandung. Malam harinya,
aku mendengar batuk nenek tetapi aku tak berani untuk mendekatinya.
Keesokan harinya aku pulang ke Bandung dengan naik kereta
api. Berat hatiku untuk meninggalkna nenek yang sekarang sedang sakit. Tetapi
apa yang harus ku perbuat ? Hari liburku sudah habis dan aku harus kembali
bersekolah lagi untuk memenuhi kewajibanku.
Setelah beberapa bulan aku tak mendengar kabar dari
nenek. Hatiku berkata “ aku sangat rindu dengan MATAHARI HATIKU.” Rasanya ingin
ku teteskan air mata rinduku pada nenek.
“Tululut...tululut...tululut...” suara telepon
berbunyi. Ayahku yang mengangkat telepon. Kulihat raut wajah ayah yang langsung
sedih. Aku bingung kenapa ayah bersedih setelah mengangkat telepon itu.
“Yah, telepon dari siapa ?” tanyaku penasaran.
“Dari desa Tia.” jawab ayah dengan nada lesu.
“Sebenarnya ada apa yah ?”
“Begini nak, tadi kakek menelpon kalau nenek sakit
keras.”
“Apa!!!!” teriakku kaget sambil meneteskan air mata.
Aku
langsung berlari menuju kamar. Aku menangis mendengar kabar tentang matahariku
itu. Aku selalu berdoa, meminta dan memohon agar Tuhan menyembuhkannya. Ayah
dan ibu bergegas ke desa, tetapi aku tidak boleh ikut karena besok masuk sekolah. Dalam sekolah aku tak bisa
berkonsentrasi, difikiranku hanya kondisi nenek. Sore harinya ayah dan ibu
pulang. Ia menjelaskan keadaan nenek.
Seminggu telah berlalu. Kabar tentang nenek juga tak ada. Ketika aku duduk si teras,
telepon berbunyi dan ibu langsung
mengangkatnya. Aku bergegas masuk kerumah dan melihat raut wajah ibu sudah sangat sedih dan pucat.
Ibu menyuruhku untuk berkumpul diruang keluarga. Ibu
mengatakan bahwa nenek telah tiada. Sekujur tubuhku mati rasa, jantungku
.berdetak kencang dan aku hanya bisa menangis. Tak ada yang bisa aku lakukan
lagi. Aku hnya menangis.
Dini hari aku dan keluarga
bergegas ke desa menggunakan mobil ayahku. Setelah sampai disana aku tak bisa
berkata apa-apa, tak kuasa aku menahan tangis.Aku tak ingin matahariku pergi
untuk selama-lamanya. Aku menghantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Ku meneteskan air mata kesedihan hariku. Gundukan tanah menutupinya. Dalam hatiku berucap “ MATAHARIKU PERGI TUK
SELAMA-LAMANYA.”
Ku mengenang kembali masa-masa indah bersama nenek. Ku
tak bisa menahan tetesan air mata ini. Matahariku adalah segala-galanya
untukku, tanpanya hidupku gelap, sunyi di kegelapan hati. Langkah demi langkah
ku tinggalkan ia. Serasa batinku telah lenyap.