Ketika
berkata dengan langit hitam, secara awan tak menjawab. Terdengar di kupingku
kata-kata kemarin sore. Sungguh beda dari kepribadian jovi dulu. Yang biasa
pemalu dan agak bisu bila berkata, tapi kemarin terasa dunia memang berbalik dengannya.
“zit,
zitaa!!” terlewat panggilan dari kak putri dari luar kamar.
Kak putri
selalu bermain kata-kata denganku. Tapi tak seperti hal jovi, kak putri selalu
memberiku jalan untuk lebih banyak lembut dan feminim. Kak putri yang kuliah di
Universitas ternama di kotaku adalah kakak yang paling aku sayang. Mungkin,
karena kami Cuma 2 bersaudara dan tinggal ibulah yang hidup dalam keluarga
sedehana ini.
“masuklah
kak, tidak dikunci!” terasa mulutku menjawab acuh tak acuh.
“zit,kamu kenapa? Lagi ada yang
mengusik pikiranmu kah??” terbuka pintu coklat tua itu, masuk kak putri dengan
agak raut wajah tak biasa. Mungkin kakakku terlalu tua atau mataku yang tak
hilang.
“tidak
apa-apa kak, cumin hal semata saja. Tapi agak mengusik juga.” Tutur mulutku
mulai berkata.
Mungkin,
terlalu sering mendongeng ceritaku dengan kakak. Kak putri lah yang berikan
arti sebuah kehidupan. Dialah yang bisa menuntunku lari dari segala hal.
Walaupun, kak putri selalu dengan wajah ceria dan selalu tersenyum tapi diriku
tak pernah sekali mendengar cerita dongeng dari sejengkal kehidupannya yang
terlalu duniawi itu. Mungkin, Karena sifat yang amat gengsi itulah yang membuat
dia lebih memendamnya ke dalam diri.
“benarkah.
Bolehkah kakak tertidur mendengar cerita manismu itu??” senyuman terpancarkan
saat kak putrid berkata begitu, sesekali duduk dihadapanku dan bersandar di jendela
bersamaku.
“tentu kak, akan semuanya ku
bercerita dengan mulutku ini. Namun bisakah dengan indah kau dengar kak?” Tak
sabar mulutku bercerita kembali.
“denga senang hati dek, kakaklah bisa
menjadi pelita hidupmu nanti.” Keyakinan kak putri akan semuanya.
Dengan
tenang mulutku yang lembut ini bercerita tentang semuanya, dari sejengkal
sampai sebongkah, dari huruf a hingga huruf z. dari cerita proses perjalan
dengan dia, dan sampai pula dengan kata-kata jovi kemarin sore. dengan lihai
kak putri mendengarkan segala lika-liku tersebut. Tak terbayangkan jika hidupku
tanpa kak putri. Akan menjadi apa saat diriku ini kawan.
“benarkah kehidupanmu berjalan
begitu dek??” tanda tanya menerangi kak putri.
“sangatlah
aku tak berbohong. Bagaimana?takut lakukan apa?”
“biarlah semuanya berjalan.
Secara pasti akan datang celah kecil, Yang akan membantumu keluar dari sini.
Mungkin masih banyak waktu untuk mengikuti semuanya, jadi jangan sia-siakan
sekitar kamu dek. Peganglah tangan ini. Dirimu tidak sendiri disini.”
Sebuah
kalimat panjang keluar dari kata kak putri. Membuat fikiran ini menjadi lebih
cerah dari sebelumnya. Inginku cerna kembali kata-kata kak putri.
“baiklah
kak. Lebih baik kali ini, banyak istirahat biar bisa bekerja pikiran ini.”
Berjalan menuju ke bunga tidurku lagi. Seakan meninggalkan sejenak konflik yang
aku hadapi.
“nyenyaklah dek, seakan dirimu
kembali terlahir di dunia ini.” Kak putri pergi dari kamar dan meninggalkanku
tertidur.
Dalam hati
berbisik inginku panggil-panggil nama jovi, namun pikiran menentang dengan
berkata dia. Dia sekaan semuanya berarti untunya. Dia yang selalu menjadi
penyakit hati, namun kadang menjadi penyembuh lara. Dia seperti parasit, yang
kadang baik namun terkadang memburukkan. Sungguh, hanya kali ini dia yang
menjadi pelita hidupku.
“esok akan
ku sampaikan kembali dengannya.” Bentak hatiku ini yakin akan semuanya dengan
bertahap menutup mata menuju bunga tidur yang indah disana.