Malam ini, hujan turun lagi.
Hari ini malam kelima 10 Maret. Aku menatap rintik-rintik hujan yang turun
sambil melamun. Kejadian itu sudah 5 tahun lamanya. Namun, aku tak pernah
berhenti menangis bila mengingatnya. Dan seolah ingin menemani dukaku,
rintik-rintik hujan selalu turun di malam 10 Maret
“Sampai kapan kamu menyendiri
terus, Nduk? Suara ibu membuyarkan lamunanku. Ini kelima kali ibu
menanyakannya. Selalu dengan kalimat yang sama. Aku hanya menatap ibu sekilas,
kemudian kembali menatap rintik-rintik hujsn dari balik jendela kamarku.
Menangis lagi. Hal yang kulakukan tiap kali ibu menanyakannya.
”Badanmu kurus sekarang. Ibu
sering merasa asing denganmu. Lima tahun yang lalu kamu gemuk. Meski dulu ibu
sering meledek kamu, tapi sesungguhnya ibu senang melihatmu gemuk begitu.” Ibu
masih mengatakan hal itu. Kali ini yang kelima. Dan selalu kujawab dengan mulut
terkatup, air mata yang terus meleleh.
“Tahun ini sudah ada 5 pemuda
yang ingin melamarmu. Tapi kelimanya kamu tolak, padahal kamu belum tahu
pemuda-pemuda yang melamarmu itu seperti apa.”
Hujan agak mereda. Rintik-rintiknya mulai berkurang.
“Soni yang punya bengkel besar.
Ibu dengar penghasilannya mencapai 100 juta per bulan. Yang kedua Reza, manager
perusahaan. Dia sudah punya mobil pribadi. Yang ketiga Dio. Katanya sih dia
bekerja di majalah remaja. Orangnya ganteng dan sepertinya baik. Ibu suka padanya.
Yang keempat... kelima....”. Aku tidak pernah mendengarkan kalimat ibu
selanjutnya. Dadaku sesak, dan rintik hujan yang masih turun membuat tangisku
semakin deras.
Hujan mulai reda. Tangisku sudah
habis, hanya sesengukan saja. Kututup jendela kamarku kemudian kuusap sisa air
mataku. Jika sudah begitu, biasanya ibu merapikan tempat tidurku kemudian
mempersilakan aku tidur, tapi kali ini tidak. Ibu mengganti sprei biru mudaku.
“Sprei biru milikmu sudah kusam
warnanya. Kamu menggunakannya terus selama 5 tahun ini. Jadi kali ini ibu
menggantinya dengan warna merah muda. Mudah-mudahan kamu suka.” Aku menggeleng.
“Tidak, ibu. Kumohon, sprei biru itu saja.”
Ibu menatap mataku. “Bukankah merah
muda warna kesukaaanmu, Nduk?’ aku menggeleng lagi. “Tidak, ibu. Tidak semenjak
5 tahun lalu.”
Ibu menitikkan air mata. Memeluk
dan mengusap rambutku yang bergelombang. “Rambutmu panjang sekali, Nduk. Sudah
hampir melewati pinggang.apa kamu tidak ingin mengguntingnya sedikit?’ tanya
ibu sambil terisak. Aku hanya menggeleng.
“Besok ibu akan membelikan sprei
baru untukmu. Warna biru biru muda. Jadi kamu tidak usah bersedih lagi ya.
Sekarang, tidurlah.” Ibu berkata lembut seraya mengusap air matanya.
Aku melepaskan pelukan ibu.
“Terima kasih, Bu.” Ibu tersenyum, lalu menutup pintu kamarku. Hening. Tinggal
aku yang berbaring di tempat tidur dengan hati sedih. Aku selalu tidak ingin
tidur sebelum jam 00.00 lewat. Karena bagiku, malam ini adalah malam yang berkesan
untukku dan Felka. Meski ini malam kelima 10 Maret, tapi rasanya masih sama.
Aku yakin Felka selalu menemaniku di malam 10 Maret. Jadi, aku sama sekali
tidak boleh melewatkannya. Di malam ini aku’bertemu’ dengannya. Kami akan
melepas rindu, menyanyikan lagu favorit kami dan memandang ribuan bintang di
langit.
Pukul 04.45
Aku terbangun mendengar suara
adzan yang bersahutan memecah keheningan pagi. Dan seperti dikomando, ayam
jantan milik tetanggaku berkokok riang. Suaranya yang
lantang selalu dapat
membangunkanku saat terkadang aku sangat mengantuk, enggan bangun untuk sholat
shubuh karena seringkali suara adzan yang merdu membuatku terbuai untuk kembali
tidur.
Aku ingin menangis. Aku
tertidur. Ah, pasti Felka kecewa karena saat dia datang semalam, aku sudah
tidur. Tapi, kenapa dia tidak membangunkanku? Kalau sudah begini aku jadi
sebal. Felka selau tidak mau membangunkanku. Padahal aku sudah bilang padanya
agar bila aku tertidur aku dibangunkan saja.
“Nduk, cepatlah sholat, nanti
waktunya keburu habis...” Aku tersentak mendengar teriakan ibu. Aku segera
mengambil wudhu, kemudian sholat. Setelah sholat, hatiku merasa damai, sejuk...
lalu tersadar. Felka sudah meninggal. Ya Allah, ampuni hamba yang belum bisa
menghapus bayangnya, rintihku dalam hati.
Ibu membuka pintu kamarku. “Sudah selesai sholat, Nduk?” aku mengangguk. “kalau
begitu, mandilah. Sarapan sudah siap. Ibu buatkan ikan gurame saus asam
kesukaanmu.” Aku mengangguk lagi.
Ikan gurame saus asam buatan ibu
sangat enak. Tidak kalah dengan buatan restoran. Ssebenarnya aku tidak begitu
menyukai ikan. Tapi Felka sangat menyukai ikan, terutama ikan gurame.
Lama-kelamaan aku menyukainya juga. Ah, Felka... lagi lagi aku membayangkannya.
“Kamu melamun, Nduk?’Aku
tersentak. “Tidak, Bu.”Ibu terlihat sedih.“Ibu kenapa sedih?’ tanyaku lirih.
Aku tahu sebenarnya ini peertanyaan konyol. Tentu saja ibu sedih melihatku
melamun membayangkan Felka. “Ibu, maafkan aku...” ucapku menyesal.
“Nduk, sudah lama kamu terlarut
dalam kesedihan. Ibu mengerti, kamu sangat menyayangi Felka sehingga kamu
begitu terpukul atas kematiannya. Tapi, sampai kapan kamu mau seperti ini? Ibu
sangat sedih melihatmu begini, ibu rindu kamu yang dulu...” suara ibu tercekat.
Aku hanya bisa menangis mendengar kalimat menyayat dari ibu.
“Felka juga pasti sedih
melihatmu begini, Nduk.”. Air mataku semakin deras bergulir. “Ibu, maafkan
Elsi. Tapi sampai saat ini hati Elsi belum bisa melupakan Felka. Elsi tidak mau
menyakiti hati laki-laki lain dengan berpura-pura mencintainya...”
“Ibu mengerti. Tapi bagaimana
kamu bisa mencintai lelaki lain kalau kamu tidak pernah mencoba membuka hatimu,
Nduk?”
Aku hanya bisa terus menangis
menjawab pertanyaan ibu. “Maafkan aku, ibu...” hanya itu yang bisa kuucap.
9 Maret 2005
Elsi sangat gembira. Setelah 3
tahun di Lampung, akhirnya ibu mengajaknya pulang ke kampung halamannya,
Kediri, Jawa Timur. Kata ibu, kakek sudah semakin memprihatinkan kondisinya.
Makanya ibu berniat menjenguk. Kebetulan Elsi sedang libur kuliah, jadi ia bisa
sekalian liburan.
“Elsi... oleh-olehnya sudah
dipak belum?” teriak ibu dari belakang.
“Sudah, Bu. Beres...”
“Satu jam lagi kita berangkat.
Kamu siap-siap gih.”
“Iya, Bu...” ucap Elsi riang.
Setelah ganti baju dan
mengenakan jilbab, Elsi menelepon Felka.
“Assalamu’alaikum...” sahutnya.
“Waalaikumsalam...” jawab Elsi
riang.
“Ada apa, sayang? Kok kayaknya
seneng banget?”
Elsi tersenyum. “Gimana nggak
seneng. Ini aku mau pulang ke Kediri!”
“Sayang, jangan becanda deh. Aku
tahu kamu kangen, tapi jangan becanda gini dong.
Masa tiba-tiba kamu bilang mau
ke Kediri?”
“Aku nggak becanda, Felka. Aku
sama ibu mau jenguk kakek. Sejam lagi kita
berangkat.”
“Kamu serius?”
“Serius banget malah.”
“Aku seneng banget. Aku janji
besok akan menemui kamu. Kita akan mewujudkan
mimpi-mimpi kita selama ini,
sayang. Alhamdulillah...”
“Iya, Fel. Aku tidak sabar ingin
bertemu denganmu.”
“Aku juga, sayang.”
“Mmm... Felka sayang aku berangkat
dulu ya. Sampai ketemu...”
“Oke, sayang. Sampai ketemu.
Miss you...”
“Miss you too...”
Sepanjang perjalanan, Elsi tak
henti-hentinya bersenandung. Ia membayangkan pertemuan indahnya dengan Felka.
Ya, Felka. Seseorang yang ia sayang. Ia belum pernah bertemu dengan Felka.
Mereka berkenalan via handphone. Soni, teman SMA Elsi yang memberikan nomornya
pada Felka. Kebetulan sekarang Soni satu universitas dengan Felka, bahkan
serumah. Kata Soni, waktu itu Felka patah hati setelah dikhianati Rista,
pacarnya dan dia butuh seseorang untuk membuatnya melupakan Rista.
Soni mengenalkan Felka pada Elsi
karena menurutnya Elsi baik, pintar & pengertian. Bisa membuat Felka
kembali bersemangat. Sebaliknya, Felka bisa membuka pikiran Elsi tentang dunia
ini karena Elsi suka menyendiri, kutu buku, kuper. Biar gaul, begitu candaan
Soni.
Dan memang pada akhirnya mereka
cocok. Meskipun berbeda sifat, tapi pemikiran mereka sama. Felka memang anak
band, anak motor, gaul. Tapi ia punya pemikiram serius tentang masa depannya.
Felka juga dewasa. Ia selalu bisa ngemong Elsi yang kadang-kadang manja.
Elsi tak henti-hentinya
tersenyum membayangkan itu semua. Perkenalan yang indah dengan Felka. Felka
yang selalu bisa membuatnya bahagia. Felka yang gentle tapi lembut, yang mau
menrima Elsi apa adanya. Elsi selalu ingat sajak sederhana yang diungkapkan
Felka saat mereka berkomitmen untuk menjalin hubungan. Waktu itu Elsi masih
ragu. Ia bertanya pada Felka, bagaimana bisa Felka jatuh cinta padanya padahal
mereka belum pernah bertemu. Dan Felka hanya menjawab pertanyaan Elsi dengan
sajak sederhana yang menurut Elsi sangat indah, yang mampu memupus keraguannya
tentang cinta mereka:
Mengapa cinta ada?
Karena ia tahu
Kau dan aku tercipta
Ah, Felka... begitu sempurnanya
dirimu bagiku, gumam Elsi.
Kediri, sore hari.
Jalanan sangat ramai,
orang-orang berlalu lalang memadati terminal tamanan kota kediri. Elsi menatap
sekeliling. Mengamati tiap sudut terminal yang 3 tahun lalu menjadi saksi
kepindahannya ke Lampung. Terminal ini tidak banyak berubah, hanya saja semakin
ramai.
“Mas Awan mau jemput jam berapa,
Bu?” tanya Elsi sambil meregangkan otot. Tiga
puluh jam di bus cukup membuat
badannya kaku.
“Sebentar lagi sampai. Dia sudah
jalan,” jawab ibu yang juga sedang meregangkan otot.
Dan benar, 5 menit kemudian mas
Awan, kakakku datang.
“Tambah gemuk aja kamu,” ucapnya
ketika pertama kali melihat Elsi.
“Huuu... pertama ketemu bukannya
muji malah ngledek,” protes Elsi.
“Kalau aku bilang kamu kurus
malah fitnah jadinya, “ lanjut mas Awan.
Elsi merengut. “Bilang aku
cantik kek.”
“Hahaha....” mas Awan tertawa
ngakak. “Cantik diliat dari menara Eiffel.”
Elsi memukul lengan mas Awan. “Dasar sirik. Bilang aja kamu iri dengan
kecakepanku.”
“Hahaha...” mas Awan tertawa
lagi.
Ibu hanya geleng-geleng kepala
melihat kedua anaknya. Sejak kecil mereka memang begitu. Selalu berantem,
saling meledek, hampir tak pernah memuji. Tetapi sebenarnya mereka saling
menyayangi, dan begitulah cara mengungkapkannya.
“Ngomong-ngomong... mana cukup
bonceng aku sama ibu kalau naik motor. Barang- barangnya gimana?’ tanyaku.
“Yeee...sapa yang mau boncengin kamu?
Naik becak lah, sekalian sama barang-barangmu yang seabrek.
Aku merengut. “Ya udah. Lagian
aku juga ogah diboncengin sama kamu,” Elsi menjulurkan lidah, balas meledek.
“Baguslah kalo gitu...” Mas Awan
nyengir. “Aku sama ibu jalan dulu ya. Kamu masih hafal jalan ke rumah kan?”
“Ya masih lah. Kamu pikir aku
udah pikun apa?”
“Ya, sapa tahu. Hahaha....” mas
Awan ngeloyor pergi.
Becak yang ditumpangi Elsi
berjalan perlahan. Pengemudinya seorang bapak paruh baya berusia sekitar 50
tahun. Nada dering HP-nya berbunyi. Incoming call, dari Felka.
“Halo, sayang...” jawabku riang.
“Idih, bukannya salam...” ucap
Felka.
“Hehehe... maaf. Aku terlalu
gembira. “Assalamu’alaikum, Felka Windu Naresa...”
“Waalaikumsalam, Elsi Winda Mei
Lista...”
Elsi dan Felka tertawa riang.
“Nanti malam aku ke rumahmu ya.
Kamu udah sampe, kan?”
“Udah. Mmm... tapi kenapa nggak
besok pagi aja?”
“Aku udah nggak sabar, sayang.”
“Iya, aku ngerti. Tapi...”
“Kamu kenapa? Kok bimbang gitu?”
Elsi terdiam. Ah, kenapa
perasaanku mendadak jadi tidak enak? Ya Allah, semoga ini bukan pertanda buruk,
doanya dalam hati.
“Sayang...”
“Oh, iya. Mmm... ya udah terserah kamu. Maksudku besok pagi biar kita bisa
berduaan lebih lama,” jawabku.
“Ya besok pagi aku ke rumahmu
lagi, sayang.”
“Oh, gitu. Aku seneng banget
dengernya.”
“Ya dah, sampe nanti sayang...”
“Ya, sampe nanti...”
10 Maret 2005, pukul 19.30
Elsi sudah selesai berdandan. Ia
tersenyum bahagia. Setelah menyematkan bros biru muda bermotif bunga yang
senada dengan jilbabnya, ia keluar kamar menuju teras. Menanti kedatangan
Felka.
“Duileh... tumben dandan. Mau
kemana kamu?’ mas Awan mulai jahil.
“Mau tahu aja.” jawab Elsi cuek.
“Alah, paling juga kencan sama
Dono tetangga sebelah yang bencong itu...” mas Awan meledek.
Biasanya Elsi akan balas meledek atau bahkan memukul mas Awan, tapi kali ini
tidak.
Elsi terlalu bahagia, hingga
enggan menanggapi ledekan mas Awan.
“Kamu ini ngledekin adikmu
terus. Mending bantu ibu bagiin oleh-oleh buat saudara, sekalian kita ke rumah
kakek.”
Mas Awan merengut, lalu beranjak
membantu ibu.
“Nduk, ibu sama mas ke rumah
kakek dulu. Besok kamu menyusul ya. Ibu mau menginap di rumah kakek.”
“Iya, Bu. Salam buat kakek.”
Pukul 20.15
Elsi mulai resah. Ia ingin
menelepon Felka, tapi urung. Mungkin Felka masih di jalan, ia takut mengganggu
konsentrasi Felka. Ia beranjak dari kursi menuju ke arah jalan. Ia memandang
langit. Ya Allah, kenapa tiba-tiba langit mendung? Perasaanya mulai tidak enak.
Resah, khawatir, takut, semua jadi satu. Ya Allah, hamba mohon lindungilah
Felka...
10
Maret 2005, pukul 19.30
Felka tersenyum bahagia. Ia
telah selesai berdandan. Rasanya ia tak sabar untuk bertemu dengan Elsi.
“Mama... aku pergi dulu ya...”
“Mau kemana kamu? Tumben pamit. Biasanya
langsung ngeloyor. Dan... tunggu. Wajah kamu sumringah sekali.”
Felka tersenyum. “Aku mau menemui
bidadariku, Ma.”
“Apa dia benar-benar spesial bagimu? Kamu tidak
pernah sebahagia ini sebelumnya.”
“Iya, Ma. Dia sangat spesial.”
Mama Felka mengamati wajah anaknya. Pipinya
tembem. Felka gemuk sekarang. Tapi untunglah Felka tinggi, jadi badannya masih
terlihat bagus & keren. Mama Felka terdiam. Selama ini ia jarang
memperhatikan Felka. Menjadi single parent yang bekerja sebagai
manager perusahaan membuatnya sibuk bekerja.
“Mama kok melamun?” tegur Felka..
Mama Felka tersadar. “Oh, tidak. Mama hanya
ingin mengamati wajahmu. Sudah lama mama tidak memperhatikanmu. Mama terlalu
sibuk. Maafkan mama...”
Felka memeluk mamanya. “Iya, Ma. Felka ngerti.
Maafin Felka juga ya Ma...”
Mama Felka melepaskan pelukan. Mengamati wajah
anaknya lebih dalam lagi. Seolah ini terakhir kalinya ia bertemu dengan
anaknya.
“Ma... mama kenapa?”
“Entahlah. Mendadak mama jadi kangen sama
kamu.”
Feklka tersenyum. Ia menatap wajah cantik
mamanya.
“Setelah menemui Elsi, aku akan segera pulang Ma.
Mama jangan sedih ya.”
“Iya, hati-hati di jalan sayang, sampaikan
salam mama buat Elsi.”
“Oke, Ma. Bye...”
Pukul 20.30
Hujan
deras disertai petir menghiasi malam duka itu. Felka tidak datang menemui Elsi.
Yang hadir hanyalah jilbab biru muda berlumuran darah yang diantarkan mama
Felka dengan mata sembab. Jilbab biru muda yang akan diberikan kepada Elsi ikut
terpental bersama tubuh Felka ketika kecelakaan maut itu terjadi. Sebelum nafas
terakhir Felka berhembus, Felka menatap jilbab berlumuran darah dan mengucap
nama Elsi.
Malam itu mulut Elsi terkatup. Tubuhnya seperti tak bernyawa. Ia tak tahu apa
yang harus ia lakukan selain menangis. Pikirannya kosong. Senyum lenyap dari
wajahnya. Hatinya terlalu sedih menerima kenyataan ini.
Setelah
kepergian Felka, Elsi hanya fokus pada kuliah dan pekerjaannya sebagai
cerpenis. Ia enggan memikirkan lelaki lain, karena hatinya sudah hilang seiring
dengan kepergian Felka.
10 Maret 2006
Malam
ini hujan turun lagi. Elsi menatap rintik hujan dari balik jendela kamarnya. Dan
malam-malam 10 Maret selanjutnya juga begitu. Felka tetap tertanam di hatinya,
tak tergantikan oleh siapapun. Ia benci warna merah muda karena Felka tidak
menyukai warna itu. Felka menyukai warna biru muda... begitupun Elsi.