Sinar mentari yang hangat mengintip
di balik jendela dengan gorden berwarna hijau bermotif bunga. Sayup-sayup ku
dengar bunda berteriak memanggil namaku sambil menyinggung sesuatu tentang
terlambat ke sekolah. Lama kelamaan aku sadar ternyata aku bangun kesiangan.
“ Ya ampun! aku kesiangan! “ makiku
sendiri di dalam kamar.
Kamis, seharusnya hari ini adalah
hari yang istimewa. Sekolahku mengadakan Pensi Masa Jeda yang pastinya banyak
acara seru. Nggak bangetlah kalo bangun kesiangan di acara yang cuma diadakan
sekali setahun ini, apalagi ini tahun terakhirku. Secepat kilat aku bersiap
berangkat ke sekolah, kemudian aku turun ke lantai bawah. Di sana kudapati
wanita yang tak lain adalah bundaku tersayang.
“ Ra sarapan dulu gih ! “ Bunda
menyuruhku.
“ Nggak ah bun ! Tira bakalan telat
nih, gara-gara bunda nggak bangunin Tiara sih.” Gerutuku.
“ Lho kok Bunda yang di salahkan ?
ya kamu itu lho Tira udah diteriakin sekeras itu kok nggak bangun-bangun. Bunda
jadi heran Ra ma kamu, tidur jam berapa sih kamu semalam ?.” Omel Bunda
“iya iya Bun, kayak biasanya kok. Ya
udah Tira berangkat dulu ya Bun !” pamit Tira sembari menyambar tas nya. Bunda
membalas salamnya sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah laku putrid
sulungnya itu.
****
Sepedaku berlari kencang. Sengaja ku
kencangkan larinya agar tidak ketinggalan bus terminal nantinya. Sesampai di
terminal, kutitipkan sepedaku di penitipan sepeda. Aku berlari menebrang jalan
sambil melambai pada bus yang sedang menaiki penumpang. Malang nasibku, aku
ketinggalan bus itu. Padahal jarak bus itu dengan bus berikutnya sekitar
sepuluh menitan.
“ Huh..
nasib nasib. Udah bangun kesiangan,di tambah ketinggalan bus pula.” Gerutuku
dalam hati.
Akhirnya bus yang ku tunggu datang
juga, lega rasanya. Aku mengambil bangku ketiga dari belakang. Bus itu terlihat
lengang, tidak seperti biasanya yang ramai dan penuh penumpang. Ku pandangi
orang-orang di bus itu, yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Seakan
hanya untuk itulah mereka hidup.
Ku lirik arlojku yang melingakar di
pergelangan tangan kiriku. 07.00 WIB. Tepat waktu itu harusnya gerbang sekolah
sudah di tutup. Padahal aku baru setengah perjalanan. Kembali menatap ke balik
jendela sebelum seseorang yang berseragam sama dengan ku duduk tepat di
sebelahku. Aku menoleh seketika.
“ Hai .. “ sapanya ramah padaku
sembari senyum manis.
“ Ehm .. haa.. ii .. ju.. gaa !”
balasku gagap.
“
Lhoh ? kamu kenapa ? kok ketakuran gitu ?” Tanyanya agak curiga.
“ Nggak kok, kaget aja kamu duduk
disebelahku.“ dustaku. Padahal aku kagum aja ngeliat senyum semanis itu dengan
lesung pipi di pipi kanannya.
“ Oh, jadi aku nggak boleh nih duduk
di sini ? “ tanyanya dengan nada putus asa.
“ Eh boleh kok. Tenang aja .. “
jawabku menenangkannya.
“ Ehh… “ ujarku bersamaan dengannya.
“Kamu
duluan aja deh” aku mengalah.
“ Oh iya, kenalin aku Roysid ,
bukannya kamu anak IX C itu yaa ?” tanyanya ramah.
“ Emm iya aku Tiara IX C .” jawabku
tak mau kalah ramah dengannya.
“ Oh iya salam kenal ya.Kamu
kesiangan juga ya ?” tanyanya lagi padaku.
“ Iya nih, pasti gerbang udah di
tutup deh. Gimana ya syid ?
“ Paling-paling nanti kita masuk
BK.” Dia berujar dengan entengnya.
Aku menatapnya dengan heran.
Ternyata ada ya orang yang udah tau salah tapi sikapnya masih begitu santainya.
Lalu, aku dan Roysid turun di
perempatan dekat sekolah. Awalnya kami jalan terpisah karena aku berjalan lebih
cepat. Tetapi tali sepatuku lepas, terpaksa aku harus berhenti sejenak. Tetapi
kemudian Roysid muncul tepat di sebelah kiriku. Dia menungguiku membenarkan
tali sepatu ku yang lepas. Kemudian dia menyanding langkahku. Sepanjang jalan
menuju sekolah, dia bercerita dan bertanya padaku. Begitu pula aku. Dia juga
nenyuruhku untuk melihat penampilannya di pensi nanti. Walaupun aku sudah tau
jika aku terlambat, justru aku berjalan lebih santai, mungkin karena tertular
sifat santainya si Roysid. Sekitar delpan langkah lagi kami sampai di depan
gerbang pintu sekolah. Ingin rasanya pintu gerbang itu jauhnya satu kilometer
lagi, asalkan bias jalan plus ngobrol bareng Roysid. Masalahnya, anaknya asik
sih. Sampai di depan gerbang kami bertemu dan di tanyai Pak Topik, satpam
kebanggaan sekolahku karena multitalent-nya.
“ Heh, kalian berdua tau tidak ini
jam berapa ? kalian itu sudah telat tigpuluh menit lebih !” Omel Pak Topik.
“ Aduh Pak maaf, kami kesiangan,
Pak. !” Roysid memohon.
“ Kesiangan kok berdua sih ?” Ujar
Pak Topik tak percaya.
“ Bener kok Pak !” Roysid mencoba
meyakinkan.
“ Iya Pak ! sueeer dah .“ timpalku
sambil membentuk jariku seperti huruf V agar terlihat meyakinkan.
“ Ya sudah sana masuk, beruntung
kalian masih saya bebaskan, tapi lain kali jangan di ulang lagi ya.” Katanya
memberi nasehat.
Di saat itu aku berpisah dengannya.
Letak kelas kami lumayan jauh karena kelasku di bawah dan dia di lantai dua. Aku
berjalan menyusuri koridor. Ruang-ruang kelas terlihat sepi. Hanya ada
segelintir siswa nongkrong di depan kelas. Kelas nomer dua dari ujung itu
adalah kelasku. Aku tersenyum riang saat masuk kelas. Ku lihat temanku sibuk
menyiapkan makanan dan minuman untuk kantin kejujuran. Aku pun bergegas menyuci
tanganku di wastafel dan mulai membantu temanku.
Kami menyelesaikannya secepat
mungkin, tak peduli laku atau tidak. Kemudian menyipkan stand dan menaruh
menunya di sana. Setelah itu kami bergegas menuju halaman yang sudag di sulap
menjadi panggung pensi yang meriah. Aku kesulitan melihat siapa yang tampil,
aku pun berjalan menuju depan. Aku menoleh kesana kemari mencaru teman-temanku.
Mungkin mereka di belakangku. Kemudian ada seseorang menepuk bahuku.
“ Hey” sapanya
“ Eh, hay “ balasku menyapanya. Ternyata Roysid.
“ Lihat aku ya abis ini.” Kata Roysid
“ Iya tenang aja ya” jawabku
antusias. Lalu dia berjalan menuju belakang panggung.
Akhirnya aku menemukan teman-temanku
di sisi panggung sebelah kanan. Aku menyusul mereka. Ku dapati Roysid sedang
memetik gitar dengan semangat. Sesekali dia mengalihkan tatapannya padaku. Aku
tak tahu maksud tatapannya.
Sebelum pulang aku bercengkrama dan berlelucon ria
dengan teman-temanku. Tiba- tiba Roysid mengetuk pintu kelasku.
“ Ada apa Syid ?” tanyaku.
“ Nggak ada apa-apa sih sebenarnya.
Aku Cuma nggak punya teman aja, temanku udah pada pulang. Aku ngganggu ya ?“
jelasnya ramah.
“ Hah nggak kok.” Jawabku.
Kami bercerita melanjutkan obrolan
tadi. Sekitar satu jam kami ngobrol tak henti, dia mengajakku pulang.
“ Ra pulang yuk. Udah sore nih, nanti
keburu ujan lho.” Ajaknya
“ Yuk, bareng lagi nih ?” tanyaku
padanya.
“ Aku duluan deh. Ya iyalah Tiara” jawabnya dengan
ekspresi di buat-buat. Kemudian kami tertawa sepanjang jalan. Kamis yang indah.
Sejak saat itu kami berdua menjadi akrab, tapi siapa tahu aku menyimpan rasa
saying yang lebig dari sekedar teman akrab.