Matahari
seperti mulai mencair, menghilang ke dalam kegelapan malam seakan rembulan dan
bintang menggantikannya dalam kehidupan ini. Namun semuanya hanya sementara,
hiya sementara. Seperti peristiwa malam ini, terbenam ke dalam memoriku yang
tak akan pernah terhapus oleh apapun.
Di
tengah hamparan sawah yang luas,gelap gulita, dan hanya diterangi segelintir
cahaya kecil dari kunang-kunang yang bertebangan. Kita duduk berdua bersama
melihat bebarapa bintang kecil menari-nari menciptakan suasana malam yang hening.
“maukah diriku jujur kepadamu?” mulai diriku mengawali
percakapan dihiasi ketenangan hati.
“terserah,”tersenyum
manis tanpa menghadapku.
”bila
itu bisa membuat kita bahagia bersama.” Ucapnya kembali.
“apa kau ingat, ketika kita mengakhiri bulan lalu
dengan keceriaan? Dalam kerumunan ribuan orang.” Tanyaku kecil dengan merasakan
dingin dari sandarannya
.
“tentu,
aku mengingatnya. Ku beranikan menghapus semua ketakutanku, dan bersamamu ku
melakukan semua itu.” Jawabnya setelah sebelumnya kembali dengan terwa kecil.
“tapi
apa kau mengingatnya juga, saat pagi yang cerah kala suasana sepi. Ada senyuman
pertamamu yang kau berikan kepadaku??” berganti dia bertanya dengan menatapku
penuh keceriaan.
“hiya, akupun sangat mengingatnya sekali kejadian itu.
Mana mungkin aku melupakan saat pertama melihat wajah manismu melintas di
hadapanku.” ku julurkan lidahku seakan tak mau kalah dengannya.
“benarkah?
Kalau begitu apa kamu ingat. Awal kita berjalan melintasi sebuah taman kota di
daerah kita ini.” pinta dia sembari tertawa kecil kembali.
“hiya, aku gak mungkin berbohong dengan semua yang
telah tertulis. Tentu sekali aku menghafalkannya karena saat itu kita seperti
saudara kembarkan.” Candaku untuk menenangkan ketegangan.
Kembali
semua terhening malam ini. Setelah kami tertawa bersama dengan kekocakkanku
tadi. Seakan tanpa melihat waktu yang mungkin kami hiraukan.
“bolehkan
aku berganti bertanya??”pinta dia memohon sesuatu.
“silahkan aja, bila ada sesuatu hal yang mestinya kau
katakan.” Ucapku seakan mebiarkannya berkata.
“Aku
masih ingin meceritakan memori yang sangat lampau.” Awal dia seperti ingin
mendongengkan ku sebuah cerita kecil.
“dulu,
saat kau seperti badut dirimu berbenturan dengan sebuah tembok keras. Tanpa kau
melihat tembok itu, kamu lebih mementingkan melihat diriku. Dan dulu, saat aku
berikan kau kado kecil untuk mengisyaratkan tanda kasih putihku.” Cerita
dirinya yang teramat sederhana dan singkat, tapi penuh dengan kenangan yang
menjulur jauh ke ujung dunia.
“hemm..” tersenyum lebar terpancar dari bibir ini. Mendengar alunan
prosa yang masuk ke gendang telingaku.
“dan
sejujurnya, mungkinkah semua peristiwa ini akan tetap tertulis sendiri dalam
memoriam kita atau akan berhenti dan menutup dengan ending yang tak tau
pastinya???” tanya dia seperti mulai dengan suasana sedih yang tak kusukai ini.
“tenanglah. Bila tuhan mengikatkan
kita dalam satu kehidupan, semua akan tetap tertulis di buku ini dan menjadikan
kita menjadi keabadian di bumi. Namun, jika tuhan berkehendak lain. Yakinlah,
tuhan akan memberimu seorang yang lebih baik dari diriku untuk disandingkan
denganmu dan menulis buku kehidupan yang lebih indah dari ini, Yang tak pantas
bila di bandingkan buku kita. Lebih baik kita tetap menjalani perjalan kita
sekarang yang masih tertulis dalam buku, walau masih dini tapi sudah banyak
cerita-cerita kecil yang kita lakukan bersama.” Jelasku dengan penuh ketenangan
untuk menghapus kesedihannya.
Jawaban
itupun membuat kami bertatap muka, dirinya bangkit dari sandaran bahuku,menatap
kedua mataku yang lebih dulu melihatnya dengan dua mata saling tegak lurus. Dan
perlahan-lahan kedua bibir kami saling balas senyuman kecil yang dulu kami
sering ciptakan bersama. Sepertinya sekarang waktu sudah berhenti dan menyerah
karena sulit untuk menghentikan peristiwa malam ini.
bagaimana cara waktu itu berjalan lambat??dengan sihirkah?atau kegelapan?
BalasHapussebagai penulis harus bisa menerima kritikan. adakah "terwa" dlm kamus bahasa indonesia??
BalasHapus