HINGGA terdengar panggilan boarding,
tak ada lagi berita tentang kondisi Ibu yang sedang terbaring di ruang ICU. Masih
koma. Hanya itu SMS terakhir adikku. Untuk menjawab pertanyaan yang
barangkali menggelayut di benak keluarga yang tinggal di Semarang, aku segera menyampaikan pesan,
"Sebentar lagi aku akan naik pesawat..."
***
LEPAS landas, menembus jendela berembun dibasuh kabut-kabut lembut cairan
mengkristal, mataku menerawang. Berlatar awan-awan putih melapis langit,
lamunanku menghadirkan bayangan Ibu yang sedang kritis.
Lalu tiba-tiba terngiang kata-kata Ibu setahun lalu, saat kami selesai
menggulung tikar, setelah para ulama dan ustad, kawan-kawan Bapak, pengurus
Madrasah Muhammadiyah Kampung Pendrikan, beriringan pulang. Ya, mereka memang
rajin membacakan Surat Yasin dan mengalunkan zikir untuk mendoakan para sahabat
yang telah lebih dahulu pergi. Waktu itu, mereka bertahlil khusyuk sekali saat
memperingati 1.000 hari kematian Bapak.
"Kamu nggak usah sedih jika suatu nanti aku menyusul bapakmu. Kalau kamu
sedang liburan atau bertugas ke luar negeri, kamu tak perlu buru-buru pulang.
Yang penting, kamu jangan melupakan janjimu membuat syair untuk digubah menjadi
lagu. Bukan aku yang minta lho... kan
kamu sendiri yang janji.
Aku akan merasa bahagia di alam kematian, mendengarkan nyanyian yang kamu
ciptakan. Tapi jangan yang norak. Mendengarnya, nanti aku nggak nyenyak tidur
di dalam kubur. Bisa-bisa malah keliaran jadi leak atau kuntilanak..."
"Rasanya Ibu lebih cocok jadi Si Manis Jembatan Ancol deh daripada
kuntilanak," adik perempuanku yang paling kecil menyahut.
Ini membuat kami tertawa semua.
"Amit amit!" Ibu mengucap sambil mengetuk-ngetuk tonjolan lekuk
jarinya ke permukaan lantai.
Jika berbincang mengenai janji-janji apa pun yang hendak kami berikan
kepadanya, Ibu tak pernah mengingat-ingat. Mungkin karena tak terlalu
mengharapkan. Tetapi terhadap janjiku untuk membuat puisi dan menggubahnya
menjadi lagu, Ibu tak pernah lupa. Bahkan ditagih terus sampai akhir hayat.
Itulah Ibu. Ia menyambut kematian dengan canda. Sepertinya ia ingin meninggal
sambil tertawa. Dari perkataan-perkatan yang terlontar, aku tahu ia merasa
telah menyelesaikan kewajiban menjalani kodrat sebagai perempuan, ibu, dan
istri, sehingga menjemput kematian, serasa tak memiliki beban atau kekhawatiran
sama sekali. Bahkan kelihatan sangat sumringah dan bergairah.
"Umurku sudah 75 tahun. Tugas terakhir menyelenggarakan seluruh selamatan
untuk almarhum yang menjadi tradisi sudah kupenuhi. Akan kuusahakan menjelang
kematian aku tak menyusahkan siapa pun. Bapakmu itu orang yang paling
beruntung. Mati tanpa sengsara akibat sakit berlarut-larut. Tapi dasar
pedagang, meninggal pun saat sedang mencari uang..."
Bapak memang wafat dengan cepat. Waktu itu, berangkat ke kantornya yang mirip
gudang di Pekojan, kawasan Pecinan, Bapak ditemani oleh Tasya, salah seorang
cucu. Walaupun sudah berusia 73 tahun, Bapak tidak pernah mau berhenti bekerja.
Tetapi tidak seperti saat masih muda yang keranjingan kerja, menghabiskan masa
tua, Bapak bekerja seenaknya. Berangkat ke kantor pukul 10.00, pukul 14.00
sudah sampai di rumah lagi. Yang diurusi pun hanya perusahaan pribadi -berupa
grosir gula pasir- yang didirikan bersama Koh Mboen, Cina Singkek, sahabat lama
yang bentuk pertemanan mereka oleh Ibu disebut sebagai "benang dengan
layangan".
Di tengah jalan, saat mengendarai mobil, Bapak terkena stroke. Mungkin akibat
penyakit tekanan darah tinggi yang pada saat-saat terakhir kurang diurus. Belum
sampai di rumah sakit, saat dilarikan tukang becak langganan yang kebetulan
memergoki, Bapak sudah tak bernapas lagi. Menurut Tasya, sebelumnya Bapak
kejang-kejang sebentar. Kematian semacam itulah yang dianggap Ibu sebagai
kematian yang cukup menyenangkan.
Dua hari yang lalu Ibu dibawa ke rumah sakit karena terjatuh di kamar mandi.
Sekarang Ibu dalam keadaan tak sadarkan diri, tetapi belum sampai sehari penuh.
Pasti Ibu sedang ditopang oleh berbagai peralatan medis dan mekanis.
Jika dokter mengatakan tindakan itu sebagai jalan satu-satunya untuk
mempertahankan hidup yang tak mungkin lagi memperoleh kesembuhan, apakah maksud
Ibu "tak ingin menyusahkan" berarti sama dengan aku harus mengizinkan
selang-selang yang kubayangkan malang melintang itu dicabut dan seketika
menghilangkan nyawanya?
Apakah dengan demikian Ibu merasa "beruntung" karena kematiannya
tidak "sengsara akibat sakit yang berlarut-larut"?
Bukankah menurut agama kita tidak boleh mendahului Sang Pencipta dan hanya
Dialah Penguasa yang berhak mencabut nyawa manusia? Bukankah kewajiban seorang
anak harus mengupayakan pengobatan dan memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa,
memohon diberi kesembuhan yang kemungkinan -dalam keadaan separah apa pun-
dapat saja dikabulkan?
Alangkah jahat dan durhaka seorang anak menutup harapan hidup orang tua yang
telah melahirkan dan membesarkan dengan penuh pengorbanan dan kasih sayang.
Apalagi dilakukan dengan sengaja dan jelas-jelas akan mengakibatkan nyawanya
tercabut.
Hmm, di satu sisi aku menangkap sepenggal wasiat,...sebuah permintaan. Tetapi
di sisi lain aku harus menjalankan amanah,... kewajiban insan beriman.
Saat dicekam kebimbangan semacam itu, terbayang segala keindahan sosok Ibu.
Ibu selalu memandang segala sesuatu yang terjadi sebagai hikmah yang harus
disyukuri. Pelajaran tentang cara menatap kehidupan, banyak yang ia ajarkan.
Ibu selalu mengingatkan, "Hal-hal yang kelihatan sepele tetapi digali dari
lubuk yang paling dalam akan memunculkan kemurnian. Jangan suka mengungkap yang
semu, apalagi palsu, atau memaparkan keunggulan dan kemewahan. Biar orang lain
memuji atau memperbincangkan, tetapi jangan sekali-kali kamu yang menceritakan
tentang kehebatanmu atau keluargamu. Bahkan sebaliknya, kamu yang harus
menceritakan kehebatan mereka."
Dulu aku merasa iri ketika teman-teman menceritakan kehebatan ibunya. Aku ingat
Tommy menceritakan ibunya yang menguasai empat bahasa asing, lulusan sebuah
akademi, dan menjadi pejabat sebuah bank pemerintah. Menuk bangga ibunya
sebagai pengurus organisasi massa
yang memiliki banyak pengikut. Kemal memuji ibunya yang pandai bermain tenis
dan menguasai bridge, olah raga otak kalangan intelek. Dewi katanya punya ibu
sangat istimewa yang selalu membantu menyelesaikan pekerjaan rumah dan
mencarikan penyelesaian soal-soal yang tak dimengerti.
Ibuku? Ibuku hanya seorang guru sekolah rakyat. Itu pun ia lakukan hanya sampai
ketika Bapak telah sepenuhnya berdagang, melepas pekerjaan sebagai karyawan
PLN, dan pengawas beberapa gardu wilayah selatan. Hanya satu bahasa asing,
bahasa Belanda yang dikuasai. Itu pun karena Ibu pernah sekolah di HIS. Ibu
juga sangat-sangat menghindari ikut organisasi massa. Paling-paling ia aktif di paguyuban
aliran kebatinan, membantu kakaknya menyiapkan katering jika mereka mengadakan
semedi bersama.
Bermain tenis? Tidak mungkin. Main badminton saja sepertinya akan kedodoran.
Membantu menyelesaikan pekerjaan rumah atau memecahkan soal-soal dari sekolah?
Rasanya sedapat mungkin ia jauhi.
"Kalau kamu tak mampu, jangan dipaksakan. Mungkin sebatas itu kapasitas
yang menjadi suratan. Tetapi setiap orang, biar bodoh sekalipun, harus
menggunakan kepintaran yang dimiliki untuk memecahkan masalah yang dihadapi,
tanpa bantuan orang-orang yang semestinya tak dilibatkan. Artinya kamu harus
berusaha sendiri. Harus mandiri!" Ibu sering berkata begitu dan Bapak
sangat setuju.
Saat kuceritakan banyak kawanku yang membanggakan ibunya dan kutanyakan apa
sebetulnya kehebatan Ibu yang harus kuceritakan kawan-kawan, ia malah bilang,
"Mestinya aku yang nanti harus bangga padamu, bukan sebaliknya. Bilang
saja ibumu hanya seorang guru sekolah rendah."
"Boleh aku menceritakan Ibu sebagai seorang pujangga?"
"Menceritakan aku gemar bersyair boleh-boleh saja. Siapa tahu mereka
menjadi terinspirasi mencintai syair juga. Tetapi jangan kaubanggakan aku
sebagai penyair. Itu bukan profesi atau hobi yang kugeluti. Aku telah memilih
pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Kesenanganku hanya memasak dan
bersih-bersih rumah. Sisa waktu, paling kuhabiskan untuk membaca buku atau
kadang-kadang menulis. Bapakmu yang meminta aku mengisi waktu bersama keluarga
saat dia harus mengorbankan waktu karena disita kesibukan mencari uang."
Memang aku dan adik-adikku sangat merasakan di rumah selalu ada seseorang yang
menjadi tempat berkeluh dan sosok tumpuan menyibak kebuntuan. Tidak hanya
muncul secara fisik, ia juga menghadirkan jiwanya. Pendek kata, Ibu itu bagi
kami adalah tiang kelana kehidupan yang memotivasi untuk terus berprestasi.
Untuk memberi inspirasi, Ibu sering membacakan puisi. Baik karya sendiri atau
cuplikan dari sebuah antologi. Ibu bilang semua itu untuk menggugah perasaan
agar lebih peka menerima pesan-pesan berarti yang perlu dipahami.
Kemudian kami memang bersama-sama membangun ruang komunikasi dengan pengantar
bahasa-bahasa samar. Rasanya menggunakan ungkapan metaforik, talirasa lebih
lekat terjalin dan maknanya lebih meresap ke dalam perasaan.
Kata Ibu, "Syair itu merupakan kelembutan ekspresi keberadaan jiwa. Syair
itu kehadiran ruh kita yang selalu ingin menyatu dalam jalinan keluarga. Tubuh
kita bisa mati. Fisik kita bisa sirna. Tetapi ruh kita akan tetap hidup. Antara
lain ya dalam syair itu."
Kami terdiam.
"Jadi kalau aku mati, itu hanya kematian jasadku yang akhirnya dengan
tanah lebur menyatu. Saat kamu baca syair yang lahir dari tanganku, ruhku akan
ada di situ. Begitu pula saat kamu baca syairmu, aku pasti akan tergugah
menyimak. Jadi, mari usahakan kita dapat terus berkomunikasi lewat syair atau
sekarang kau menyebutnya sebagai puisi!"
***
SAAT menuruni tangga pesawat, kebimbangan yang menyelimuti, kupendam dulu
dalam-dalam. Biarlah nanti kuputuskan setelah melihat dan memahami situasi.
Tetapi tanpa sebuah keputusan yang kuyakini, tetap saja keraguanku menempatkan
perasaan mengambang tak menentu. Jika keadaan Ibu seperti yang kubayangkan,
betul-betul aku akan dihadapkan pada posisi yang amat sangat sulit.
Saat HP kubuka kembali, membaca pesan adikku, aku tersenyum. Ternyata Ibu
benar-benar tak ingin menyusahkan. Ia wafat saat pesawat telah mengudara. Dan
air mataku seketika deras mengalir. Apakah itu tangis sedih, lega atau haru,
terasa berbaur hingga tak dapat dengan mudah dipilah-pilah. Mungkin Ibu mangkat
setelah beliau yakin benar, sebentar lagi aku pasti akan datang.
Ketika adikku menyampaikan bahwa jenazah menungguku untuk dimandikan, langsung
kupesan taksi menuju RS Elisabeth. Menurut kebiasaan, semua anak-anak harus
ikut mengguyur jenasah sebelum dibungkus kain kafan. Walau lengan baju sudah
kusingkap, niat memandikan kuurungkan, setelah adikku menyampaikan titipan Ibu,
sebelum beliau kehilangan kesadaran.
Kudapati tulisan serupa syair, serupa puisi terselip dalam amplop: "Tak
usah kau ikut memandikan/ Jasadku yang dingin profan/ Singkaplah kain kafan/
Pandang wajahku dalam senyuman/ Lalu bacakan puisi-puisi/ Mengiring hidup di
alam kematian"
Selesai dimandikan, kupandangi wajah Ibu yang cerah, sedang pulas tidur sambil
tersenyum. Memenuhi permintaannya, kubacakan syair-syair dalam berbagai bahasa
yang Ibu mengerti, Jawa, Melayu, Belanda dan satu syair indah berbahasa Arab,
yang dilafalkan Ibu pada waktu malam: Surat Yasin.
Selamat jalan, Ibu. Pasti, akan kugubah sebuah lagu mengiringi melepas rindu
saat engkau bertemu kekasihmu.***
Bintaro Jaya, 5 Februari 2007
sangat menarik,membuatku ingin menangis.bagus kak ceritanya. buat yang lain kak. :)
BalasHapusmakasih INDAH, iya entar kakak buat lagi. semoga kamu suka dengan cerita yang lain. terima kasih adek.:)
Hapussama kak.buat yang bagus lagi.:) saya suka baca cerpen kok kak. :)
Hapusbaik dek ini sudah ada yang baru. 3 cerita lagi.:)
Hapus