Bermain-main
tanganku, melewati jari-jemari. Kakiku ku ayun-ayunkan, sesekali ku tendang ke
langit putih. Menahan hati yang gelisah kesana-kemari. Mulutku bergumam tak
tahu arti. Raut wajah yang amat kesal dengan orang didekatku tadi.
“bagaimana
mengambil jarum itu, jawab zit?” pertanyaan yang selalu menghujat diri ini.
Langsung ku buang mukaku ke tanah bertunduk.
“sakit dan luka, itulah sama artinya dengan ini!!” mulut Jovi itu selalu
dengan hujatan terus. Yang membuat diriku membungkam dengannya.
“sudahlah, akan ku lakukan apa yang harus aku lakukan.” Kataku Tak mau
kalah dengan serangan Jovi. Lagi, Detak jantungku berjalan berganti mengiringi
hati yang gelisah dari tadi.
“ayolah zita, kenapa tidak kau berlari saja!!” lagi dan lagi kalimat itu
terdengar.
“kenapa sih jov, ini urusan kehidupanku sajalah. Enak dirimu tak masuk
dalam ini!!” kesal diriku dalam jovi. Yang selalu bermain mulut denganku dalam
keadaan gundah.
“tapi, bisakah dirimu bergerak lagi dalam hal ini??” dengan memberi
bongkahan tawa biasa itu. Bertambah merah hati, kesal akan tawa jovi yang
bergerak di hadapanku. tawa yang mungkin diawali saat dia memberiku ta’jil di
mesjid dekat rumah. Tak dapat dipungkiri, dialah anak alim di kampung Gentan.
“tapi aku mungkin
ber…”,
“tapi apa?
Kau tak bisa begini saja zit. Cukup dengan diam?.”
Selalu saja
sifat jovi itu ada. Sifat yang ada dalam bodohnya. Yang membuatku setiap
jengkel bila berdebat kata dengannya. Tapi sifat itulah yang membuat diriku
kenal diri, bukan sembarang bertemu belaka. Saat jovi datang mendekati
perbincangan aku dan temannya dulu.
“Cuma janji
belaka kau ini. Janganlah percaya sama lidah tak bertulang itu!!” mulutku
kembali bergumam.
Sungguh, jovi
selalu senang bila bermain dengan mulutnya, dia memang seseorang yang hobi
dengan sastra.
“inikan
urusanku saja.bukan urusanmu kan?” kesal diriku akan semua hantaman jovi.
“urusanmu? Urusanku juga!!”
Tak kusangka,
hantaman dari jovi ini, membuat mulutku bungkam. Seperti mulutku dikunci
rapat-rapat. Bahkan bukan hanya aku, jovi pun juga menundukkan kepala bertanda
ucapannya terlalu berbahaya. Apakah beda dengan perkataan atau rasa bersalah.
Sungguh aku yakin, jovi salah dalam kalimatnya.
“bagaimana kau berfikir begitu?” lanjut
mulutku yang mungkin terbebas dari bungkaman tadi.
“mungkin, husapan
jempol belaka..haha” tawa kembali membasahi jovi, sebuah tanda tidak sadar atau
sikap dalam mengalihkan sebuah pembicaraan.
“yasudah, pulang ya. Rembulan
sudah membahana.” Ku selesaikan sebuah perdebatan kata kecil ini.
thank mas bro..hahahaha.(y)
BalasHapus