Bel
deringan Pulang sekolah terdengar di telingaku. Saat keluar dari sebuah ruangan
kelas, tak terasa langkah kakiku terhambat. Ternyata jovi menahan tanganku,
seperti dirinya ingin mencari jawaban yang pasti dari hal kemaren.
“bagaimana
zita, akankah jawabmu sekarang??” pertanyaan jovi langsung menuju pada inti.
“jangan sekarang jov, aku masih
butuh waktu.” Kupertegas jawabku,
mungkin
jawaban yang sangat sakit tak mungkin ku berikan, jawaban tolakan yang tak tega
melihatnya. Tapi
hatiku masih ku penuhi oleh dia. Dia yang sekarang diam
diantara teman-teman disekelilingnya tertawa.
“tapi zit,
kamu harus tegas sekarang!!” dengan nada keras dan sedikit kencang.
“tidak mau jov, aku tidak bisa
sekarang!!” memancing kemarahanku.
Jovipun
dengan tegas menyeret tanganku keluar kelas, dengan diikuti tatapan yang lain
dan dia. Menuju ke sebuah taman kecil di belakang sekolah. Inginku lepaskan
genggamannya yang amat kuat.
“lepaskan jov!!!” dengan hentak
ku banting tanganku agar lepas dari genggamannya.
“DIAAM!!”
dengan keras lantang dia marah denganku dan kembali menyeret tangan ini.
Saat itulah bayanganku kembali
ke masa lalu jovi, masa kelam jovi. Apakah masa itu masih ada dalam diri jovi.
Kembali ketakutanku memuncak akan kejadian itu terjadi.
“tunggu
jovi lepaskan!!!” dengan memaksa dengan sekuat tenagaku.
Dibanting
tanganku dan membuat diri ini terduduk di sebuah bangku taman belakang sekolah.
Jovipun duduk disampingku.
“kenapa
sih jov. Aku sudah bilang gak bisa bilang sekarang.” Bentak bibirku.
“baiklah zita. Aku janji akan
semua hidupku akan ku berikan kepadamu. Aku berjanji tidak akan menyakitimu dan
meninggalkan kamu.” Dengan tenang jovi berbicara seakan sedikit memaksa diriku.
Hatiku
mulai menghilangkan rasa tak tega terhadap jovi. Ingin langsung berkata menolak
akan semuanya, namun tenyata mulutkupun hanya bisa diam kala ingin berkata.
“zitaa.
Ayo kenapa tolong jawab zita.” Kembali jovi memaksaku.
“egak bisa jov, aku gak bisa
bilang sekarang.” Masih ragu diriku.
“tapi
zita, aku janji.” Mulai menyakinkan diriku disini.
“aku takut jov. Aku takut
janjimu itu semuanya palsu!” dengan perlahan menolak dengan baik.
“tenang
zita. Aku janji aku tidak akan mengulanginya lagi. Ayo jawab zita??” jovi
semakin keras menyakinkan hatiku.
“tida bisa jovi. Aku gak bisa
jawab.” Ingin rasa langsung menolak.
“kalau
kamu tidak mau jawab, terpaksa aku akan ….”
“akan apaaa???” ketakutan mulai
membayangiku.
“memaksamu!!”
dengan mengangkat tangan kananya, seperti ingin melayangkan tamparan ke
wajahku.
Sungguh saat ini aku takut, dengan menutup
mata aku berharap tidak ada tamparan yang kena di wajahku. Namun lama tak ada
tamparan, dan ku buka mataku perlahan. Dan ternyata, tangan jovi ditahan oleh
dia.
“jangan
sakiti dia. Sebaiknya kamu pergi sekarang!” dengan tenang dan lantang mulutnya
bicara keras.
“jangan urusi urusanku bagas,
lebih baik kau pergi sana.” Marah jovi dengan membanting dan membuat dia
terlempar.
“baiklah
kita selesaikan secara jantan.” Dengan keras dan marah dia selalu bisa tenang
dalam menghadapi apapun.
“baiklah kalau itu mau kamu!!”
jovipun menerima tantangan dari dirinya.
Aku pun
hanya bisa terbunjur kaku dan ketakutan melihat mereka berdua bertengkar,
saling menghancurkan satu sama lain. Dengan air mata saja diriku terdiam tak
sadarkan diri. Terlihat mereka sekuat tenaga saling memukul, dan dengan
kemarahan yang berkobar sulit mereka untuk dipisahkan. Tak lama mereka
bertengkar, banyak guru dan murid lain datang. Untuk melerai mereka harus
membutuhkan 8 orang sekaligus. Dirikupun di tenangkan oleh ibu guruku wanitaku.
Sekian
lama kami ditenangin dan ditanya, akhirnya kami diperbolehkan pulang. Dengan
keluar dari sekolah yang ada secara bersama tampak seperti drama perang cinta
yang ada. Dengan malas jovi pergi lari meninggalkan kami berdua. Ku tatap mata
dia yang masih di selimuti bekas bungkaman dari jovi tadi.
“masih
sakit??” tanyaku kepadanya untuk memulai.
“iya.” Hanya dengan mengangguk dia menjawabnya,
dengan berjalan perlahan meninggalkanku.
“bagas!!”
ku teriakan panggilan namanya.
Dengan membalikan badan dia
menghentikan langkahnya dan menatapku. Dirikupun berlari mendekatinya dan
langsung ku peluk dirinya hingga erat, seperti ku banting tubuh ini dengan
mudah. Kala tak ingin lagi kehilangannya.”
“sudahlah zita. Ingatlah dulu
aku pernah bilang, kalau aku akan berjanji jagain kamu seperti ayahmu menjaga
kamu.” Dengan tenang dirinya berkata. Membuat hatiku kembali tenang dengan
kembali di banjiri dengan tetesan air mata.
“makasih
ya gas.” Ku tatap matanya dengan penuh keyakinan yang ada.
Aku berhasil
melakukan apa yang dikatakan mas bayu bilang. Membuat diriku kembali seperti
terlahir di hadapanya.
“baiklah, mari kita pulang. Dan
tenangkan hatimu.” Ajak dia dengan penuh perhatian.