Kala mentari sudah mulai menampakan
dirinya, pancaran sinarnya pun mulai terasa hangat. Tubuhku sudah siap untuk
menyambut pagi ini, meski bahan makalah masih terbengkalai, laporan karya
ilmiah masih terbengkalai, tugas-tugas sekolah pun masih terbengkalai dan
sekarang muncul pula masalah yang memusingkan kepala. Meski pikiranku ini tak
karuan, aku paksakan kaki ini untuk terus melangkah ke tempat tujuan.
Dia datang dengan wajah cemberut, yang
duh .... aku tak suka, wajah itu mengingatkan aku pada musuh-musuh teroris yang
seakan-akan ingin memangsa negeri ini sampai tak berdaya. Gayanya, senyum
sinisnya, bicaranya, diamnya dan aku muak pada semua yang berhubungan
dengannya. Iya ... aku tau, dia sahabatku. Sahabat yang selama ini ada
disampingku, berjuang dan hidup di tempat yang sama, bahkan tak jarang makan
dan tidur bersama. Tapi sedihnya kebersamaan yang indah itu harus terenggut
begitu saja, kami mengalami perang dingin semenjak kebersamaan itu terekat
semakin indah. Awalnya tidak ada yang salah, kami tetap seperti dulu, akrab dan
selalu bersama, dimana-mana berdua, dimana diri ini berada, disitu pun ada dia.
Tapi seketika bencana datang menghadang, ombak yang besar menghancurkan
sendi-sendi persahabatan kami, dan yang ada kini hanya tinggal puing-puing tak
berarti.
Aku sedih .. !!
Iya ,, aku sangat sedih. Dalam waktu
sekejap persahabatan yang indah itu hancur berkeping-keping. Wajah manis
berubah menakutkan, tak ada kata yang keluar dari bibirku dan bibirnya. Bibir
itu mengatup tanpa komando. Kebahagiaan berubah menjadi kesedihan, kebersamaan
berubah menjadi perpisahan. Meski raga bersatu tapi jiwa terpisah.
Sering aku bertanya dalam hati, kenapa
ini bisa terjadi?? Mengapa kesedihan yang sama harus terulang kembali, mengapa
harus ada kesedihan setelah kesedihan itu pergi ??
Tapi sayang, tak ada jawaban !
Pertanyaan hanya tinggal tanya. Aku hanya manusia biasa, aku tetaplah insan
lemah yang tak punya daya. Aku tidak bisa mengelak dari bencana itu.
“ Rha, besok giliran kelompok kita
untuk presentasi, tadi siang Fachri kasih tau aku.” Aku beranikan diri
menghampirinya. Aku harus bisa melawan syetan itu. Aku tidak mau dicap sebagai
orang yang suka memutuskan tali silaturrahmi. Seperti sabda Nabi dalam sebuah
hadistnya : “Tidak akan masuk surga orang yang mendiamkan saudaranya selama
lebih dari 3 hari.”
Percuma beribadah sepanjang masa kalau
akhirnya tetap masuk neraka. Itulah kenapa aku mati-matian ungkapkan sepatah
dua patah kata padanya. Aku tak peduli apakah dia mau dengar atau tidak,
ditanggapi atau tidak aku tak peduli. Biar saja, yang yang penting tugas dan
kewajibanku selesai. Dia mengangguk sambil bergumam pelan, aku tidak sempat
mendengar gumaman itu karena aku terlanjur mengangkat kaki dari sana, aku tak
punya daya untuk terus menopang kaki di tempat itu. Tak ada ucapan terima kasih
yang aku dengar dari bibirnya. Biarlah ! aku tak butuh ucapan terimakasih itu,
yang pasti aku lega karena kewajiban itu berhasil aku tunaikan. Setidaknya aku
tidak akan masuk neraka karenanya. Itu saja !
Lambat laun perang dingin itu tercium
juga. Teman-teman sekelas pun heran melihat aku yang tidak seperti biasanya.
Mereka yang tau aku dan kenal siap aku, mereka yang selalu melihat aku dengan
Zahra selalu bersama-sama. Tapi sekarang .. mereka tak melihat lagi hal itu.
Mungkin mereka juga sudah tau masalah antara aku dan Zahra.
Aku ditemui Nabil setelah bel pulang
sekolah di ruang kelas.
“ Syah, ada masalah ya sama Zahra ?” tanyanya sambil menarik kursi dan duduk
disampingku. Mau tak mau aku harus jujur.
“ Iya, aku juga ngga tau kenapa bisa terjadi ?” ujarku.
“ Awalnya gimana sih kejadiannya ?” Nabil balik Tanya.
“ Aku rasa karena masalah kemarin, dia nanya tapi aku menanggapinya kurang
ramah. Seharusnya dia juga ngerti kalau saat itu aku lagi bingung dan panik.”
” Kamu kenapa jawabnya kurang ramah?” protes Nabil.
”Aku kesal aja, dia ngga sopan sama aku. Memang dia anggap aku apa ?” Aku balik
protes.
” Aku tau, semuanya terjadi karena kalian sama-sama panik dan terjadilah salah
paham seperti itu. Sekarang kamu lupakan saja masalah itu.kembalilah bersikap
biasa, bersahabatlah seperti dulu. Aku ngga suka kamu seperti itu.
” Sebenarnya aku yang salah, seharusnya aku bersikap bijaksana, tidak boleh
membalas keegoan dengan keegoan yang lain.”
” Nah ,, itu kamu tau sendiri. Sekarang kamu harus seperti dulu lagi, sapa dan
bicaralah denganya. Jangan takut dicuekin, itu tantangan mulia untukmu. Ayo
Aisyah ...berjuanglah ! sangat mulia orang yang menghubungkan silaturrahmi.”
Nabil menasehatiku. Aku bersyukur punya teman yang perhatian dan suka
mengingatkan. Dia memang teman yang baik.
” Makasih ya ,, Bil. Aku akan berjuang mengembalikan jalinan itu kembali. Mohon
doanya ya !!
Aku menggerakan bibir sambil membentuknya menjadi lebih indah, itu senyuman
paling manis yang aku ciptakan. Aku berharap senyumman itu bisa meluluhkan
hatinya. Tapi ternyata senyum itu hanya tinggal senyum. Senyuman manisku
teracuhkan begtu saja, dia melengah tanpa membalas sedikitpun. Hatiku menyuruh
sabar .. sabar .. dan tetap sabarr.
Perjuangan belum usai !!
Aku tidak boleh menyerah ...
Aku harus tetap berjuang sampai senyuman manisku dibalas dengan senyuman yang
paling manis.
” Oya ,, Rha , besok materi presentasi kita tentang wawancara, drama dan
pidato.” Lagi-lagi senyumku mengembang sambil menyapanya. Aku bersyukur punya
bahan pembicaraan supaya bisa berbicara dengannya. Dia diam saja, lagi-lagi
tanpa ucapan terima kasih. Ah ,, sudah biasa.
Hari ini kos’an sepi, sunyi, tak ada
suara-suara yang berarti. Mungkin semua orang sibuk dengan aktivtasnya
disekolah. Aku tau, di kamar sebelah ada Zahra. Aku juga tau, hanya aku dan
Zahra yang tersisa di kos’an hari ini. Aku sengaja berangkat agak siang ke
sekolah,karena aku tau Zahra masih siap-siap di kamarnya. Aku beranikan diri
menghampirinya dan mencoba menyapanya. Bermaksud untuk mengajak beangkat
kesekolah bersama, tapi sayang sepertinya usahaku kembali sia-sia. Dia
seolah-olah menganggapku tak ada. Saat itu, tak sanggup lagi rasanya hatiku
menerima perlakuan seperti ini. Dia hanya diam saja tak perdulikan omonganku.
” Rha ,, aku kesekolah duluan ya.”
Lagi-lagi aku tabah-tabahkan hati setelah sekali lagi dicuekin. Dalam hati aku
berdoa semoga Allah melembutkan hatinya dan bisa menerima aku kembali menjadi
sahabatnya. Sayang ,, persahabatan indah itu harus pupus di tengah jalan setelah
sekian lama membinanya
” Boleh bicara, Rha ?” Aku
menghampirinya di perpustakaan. Dia cuek, tanpa mmenoleh sama sekali, matanya
lekat tertuju pada buku yang sedang dia baca.
“ Rha ,, kamu dengar suara aku kan ?”
kali ini suaraku terdengar serak.sedih sekali dicuekin seperti ini.
“ Mau ngomong apa ?” Itu suara Zahra.
Alhamdulillah akhirnya suara itu terdengar juga setelah sekian lama aku
menantinya.
“ Kita tidak boleh seperti ini terus
Rha, diam-diaman tanpa kenal dosa.sedih hati ini Rha, kita bersahabat sejak
lama, sayang hanya karena masalah sepele kita bermusuhan seperti ini. Mari kita
rajut kembali benang-benang itu menjadi tali ukhuwah yang lebih indah, mari
kita bina persahabatan kita kembali.” Air mataku berjatuhan dari pelupuknya.
Air mata itu mengalir mengairi pipi mulusku lalu merambas ke sela-sela jilbab
putih yang aku pakai. “Rabb ,, hati ini sedih sekali.” Batinku pelan.
“ Terserah ....” Hanya itu jawaban darinya.
“ Terserah apanya, Rha ?”
“ Ya terserah .”
“ Kamu ga boleh seperti itu Rha, kasihlah komentar harus seperti apa hubungan
kita,harus dibawa kemana persahabatan kita ?”
“ Up to you !” itu jawaban singkat yang betul-betul menyinggung perasaanku.
Sedikitpun dia tidak menghargai aku sebagai sahabatnya. Dari jawaban ketus itu
aku bisa mengambil kesimpulan bahwa Zahra tak lagi menganggap diriku
sahabatnya.
“ Terima kasih Rha atas jawabanmu,
setidaknya aku tau apa yang harus aku lakukan setelah ini. Maaf kalau aku
selama ini tidak bisa menjadi sahabat yang baik bagimu, maaf kalau selama ini
aku sering merepotkanmu dan maaf kalau aku harus mengambil keputusan yang aku
sendiri tak sanggup melakukannya.
Tapi sanggup tak sanggup aku harus
tetap menjalankannya. Air mtaku bertambah deras membasahi pipi,suaraku gemetar
tak terhingga. Sebelum beranjak aku kuatkan hati untuk mengulurkan tangan ingin
bersalaman, mungkin jabat tangan terakhir. Alhamdulillah dia menyambutnya
walaupun hanya sekilas saja.
Aku beranjak ke luar dengan hati pilu. Keputusanku sudah bulat, aku harus
hijrah ke tempat lain. Aku tidakmau menjadi masalah disini. Mengalah bukan
berarti kalah bukan ???
Namun, sungguh sejujurnya aku tak
mengharapkan kejadian ini. Aku pikir semuanya akan baik-baik saja.
Sudahlah ...
Apa dayaku ,,,
Harapan aku selama ini tak kunjung ku dapatkan, ku tak temukan lagi ”senyuman
dari sahabatku”.